Oleh : Gentha Apritaura
Om Swastiastu
Saya dibesarkan di lingkungan Islam. Saya memutuskan memilih agama Hindu ketika saya masih dalam usia –yang orang bilang- premature. Too early. Tapi bagi saya, tidak ada kata premature sebab Hindu telah menyentuh kebutuhan rohani saya yang paling dasar. Saya menemukan Hindu tanpa guru, tanpa bantuan orang lain, namun itulah yang membuat saya bangga karena dengan demikian, berarti saya mengambil keputusan besar ini tanpa intervensi siapapun.
Usia saya sekarang 22 tahun. Pada usia 21 tahun, saya jatuh cinta pada seorang cowok muslim. Sebut saja namanya Fre. Bukan orang baru, dia cinta pertama saya di sekolah menengah, sekaligus teman sejak SD. Bersamanya, saya merasakan cinta yang sungguh- sungguh terhadap seorang lelaki. Semua ego runtuh di hadapannya. Hampir setahun, saya mengalami masa penuh pergolakan, perang batin, jungkir balik tidak karuan. Saat itu, hidup hanya memberi saya dua pilihan. Jika saya pilih Hindu, saya harus melepaskan dia (dan mengecewakan keluarga sekali lagi). Jika memilih Islam, saya dapat melewatkan waktu bersamanya, sekaligus membahagiakan keluarga karena mereka mengharapkan saya kembali (namun dengan mempertaruhkan amanastuti saya sendiri).
Pada masa itu, saya berpikir keras, kenapa jalan hidup membawa saya pada situasi seperti ini? Dalam benak saya, ada pertanyaan yang sangat mengusik, “Jodoh, takdir atau karma?”. Ajaran agama sebelumnya jelasjelas menyatakan jodoh adalah takdir. Namun dalam hati masih terasa mengganjal. Memerlukan cukup waktu hingga akhirnya saya temukan jawaban ini (mohon maaf sebelumnya, pendapat ini bersifat subyektif ). Jodoh itu bukan takdir, tapi karmapala!
Apa alasannya?
Saya, bisa saja meraih Fre dalam pelukan saya, lalu kembali pada ajaran keluarga sambil mengatakan, “ini sudah jalannya”. Tapi apa yang ada di balik itu? Sebuah kemunafikan besar, menggunakan ‘jalannya’ Tuhan untuk mengelak dan menempatkannya sebagai pembenar atas tindakan yang saya lakukan. Kenyataan ini seperti pecut yang menampar muka saya sendiri.
Dalam kondisi pikiran yang jernih, saya dapat mendengar suara dalam hati yang jelas-jelas mengatakan, “Aku tidak ingin menukar Tuhan dengan apapun!”. Sadarkah kita, kita seringkali mengabaikan suara hati ketika pikiran kita sedemikian fokus terhadap suatu target. Mungkin, ini jugalah yang disebut maya itu.
Saya sadar betul bahwa selalu ada konsekuensi dari tiap tindakan. Dan keputusan yang saya ambil adalah, saya mempertahankan keHinduan saya. Efeknya, saya tidak dapat melanjutkan hubungan saya dengan Fre, dan mungkin saya lagi-lagi mengecewakan Bapak, Ibu, adik-adik, serta segenap keluarga besar.
Saya menangis, tentu saja. Hati saya hancur kehilangan Fre, saya sedih melihat keluarga harus ikut menanggung dampak moral dan sosial atas tindakan yang saya lakukan. Tapi inilah keputusan saya. Dari pengalaman ini, saya percaya jodoh itu hasil perjuangan, bukan ketentuan Tuhan. Mengapa? Sebab, sebetulnya saya bisa memiliki Fre jika saya bersedia melakukan satu hal; melepaskan keHinduan saya. Namun tidak saya lakukan. Karena apa? Karena saya tidak mau. Itulah kuncinya.
Saudara-saudaraku sedharma, melalui catatan ini saya ingin berpesan pada Anda sekalian, terutama untuk temanteman yang sedang mencari pasangan hidup, yang sedang merantau di tengah lingkungan umat berkeyakinan lain, yang merasa berdiri sebagai minoritas, yang sedang mengalami sindrom rendah diri agama, atau bahkan bagi yang mungkin saat ini sedang menimbang-nimbang untuk pindah ke agama lain; sadarkah kita, Sanatana Dharma adalah permata yang dunia miliki. “Rahmatan Lil Alamin” (rahmat bagi sekalian alam) yang sesungguhnya, bukan hanya “Rahmatan Lil Hindu”. Brahman yang kita kenal adalah figur Tuhan yang tidak memilih, tidak pernah membeda-bedakan.
Mungkin, dari kalimat “tidak pernah membeda-bedakan”, saya bisa menggunakannya sebagai dalih untuk pindah ke agama lain. Tapi dengan mengetahui kualitas Tuhan-Tuhan” dari agama lain itu, dengan tegas saya akan mengatakan, “Saya tidak mau memiliki Tuhan seperti itu!”. Om Ekam Evam Advityam Brahman. Hanya Brahman yang saya kenal sebagai sejatinya Tuhan. Tuhan bagi seluruh semesta, bukan hanya Tuhan satu kaum.
Teman, saya sungguh berharap catatan ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi Anda yang membacanya. Saat ini, saya terus berusaha membuktikan pada keluarga bahwa keputusan saya memeluk Hindu bukanlah keputusan bodoh. Hindu telah merombak total mindset saya yang dulu penuh ego ahamkara.
Teman, banggalah menjadi seorang Hindu. Sebab kita tengah bernaung dalam ajaran induk dari semua ajaran. Saya yakin, setiap dari Anda pernah menghadapi situasi sulit yang memaksa Anda mengambil sebuah keputusan pahit. Tapi saya pun yakin, semuanya adalah proses untuk menjadikan kita lebih dewasa. Gita mengajarkan, orang bijak tidak terlalu terlarut dalam kesedihan ataupun kesenangan. Lihat sisi positif dari apapun yang kita hadapi. Daripada menyesali pintu yang sudah tertutup, bukankah lebih baik mencari pintu lain yang terbuka? Life must going on, apapun yang kita perjuangkan, karmapalanya akan kembali.
Mulai saat ini, semoga tidak pernah lagi terbesit dalam benak kita untuk cenderung menuding Tuhan atas apapun yang kita alami. Mulat sarira, rubah mindset Anda. Legowo menerima hasil dari perbuatan kita sendiri akan terasa jauh lebih melegakan sekaligus membentuk diri kita untuk lebih mampu bersikap ksatria. Mungkin benar, kita tidak tahu karma apa yang kita bawa dari masa lalu. Tapi minimal, kita bisa melihat hasil dari apa yang kita dapat merupakan hasil dari tindakan kita sekarang. Be positive, do positive. Tidak akan ada yang sia-sia. Om Santih Santih Santih Om.
Om Swastiastu
Saya dibesarkan di lingkungan Islam. Saya memutuskan memilih agama Hindu ketika saya masih dalam usia –yang orang bilang- premature. Too early. Tapi bagi saya, tidak ada kata premature sebab Hindu telah menyentuh kebutuhan rohani saya yang paling dasar. Saya menemukan Hindu tanpa guru, tanpa bantuan orang lain, namun itulah yang membuat saya bangga karena dengan demikian, berarti saya mengambil keputusan besar ini tanpa intervensi siapapun.
Usia saya sekarang 22 tahun. Pada usia 21 tahun, saya jatuh cinta pada seorang cowok muslim. Sebut saja namanya Fre. Bukan orang baru, dia cinta pertama saya di sekolah menengah, sekaligus teman sejak SD. Bersamanya, saya merasakan cinta yang sungguh- sungguh terhadap seorang lelaki. Semua ego runtuh di hadapannya. Hampir setahun, saya mengalami masa penuh pergolakan, perang batin, jungkir balik tidak karuan. Saat itu, hidup hanya memberi saya dua pilihan. Jika saya pilih Hindu, saya harus melepaskan dia (dan mengecewakan keluarga sekali lagi). Jika memilih Islam, saya dapat melewatkan waktu bersamanya, sekaligus membahagiakan keluarga karena mereka mengharapkan saya kembali (namun dengan mempertaruhkan amanastuti saya sendiri).
Pada masa itu, saya berpikir keras, kenapa jalan hidup membawa saya pada situasi seperti ini? Dalam benak saya, ada pertanyaan yang sangat mengusik, “Jodoh, takdir atau karma?”. Ajaran agama sebelumnya jelasjelas menyatakan jodoh adalah takdir. Namun dalam hati masih terasa mengganjal. Memerlukan cukup waktu hingga akhirnya saya temukan jawaban ini (mohon maaf sebelumnya, pendapat ini bersifat subyektif ). Jodoh itu bukan takdir, tapi karmapala!
Apa alasannya?
Saya, bisa saja meraih Fre dalam pelukan saya, lalu kembali pada ajaran keluarga sambil mengatakan, “ini sudah jalannya”. Tapi apa yang ada di balik itu? Sebuah kemunafikan besar, menggunakan ‘jalannya’ Tuhan untuk mengelak dan menempatkannya sebagai pembenar atas tindakan yang saya lakukan. Kenyataan ini seperti pecut yang menampar muka saya sendiri.
Dalam kondisi pikiran yang jernih, saya dapat mendengar suara dalam hati yang jelas-jelas mengatakan, “Aku tidak ingin menukar Tuhan dengan apapun!”. Sadarkah kita, kita seringkali mengabaikan suara hati ketika pikiran kita sedemikian fokus terhadap suatu target. Mungkin, ini jugalah yang disebut maya itu.
Saya sadar betul bahwa selalu ada konsekuensi dari tiap tindakan. Dan keputusan yang saya ambil adalah, saya mempertahankan keHinduan saya. Efeknya, saya tidak dapat melanjutkan hubungan saya dengan Fre, dan mungkin saya lagi-lagi mengecewakan Bapak, Ibu, adik-adik, serta segenap keluarga besar.
Saya menangis, tentu saja. Hati saya hancur kehilangan Fre, saya sedih melihat keluarga harus ikut menanggung dampak moral dan sosial atas tindakan yang saya lakukan. Tapi inilah keputusan saya. Dari pengalaman ini, saya percaya jodoh itu hasil perjuangan, bukan ketentuan Tuhan. Mengapa? Sebab, sebetulnya saya bisa memiliki Fre jika saya bersedia melakukan satu hal; melepaskan keHinduan saya. Namun tidak saya lakukan. Karena apa? Karena saya tidak mau. Itulah kuncinya.
Saudara-saudaraku sedharma, melalui catatan ini saya ingin berpesan pada Anda sekalian, terutama untuk temanteman yang sedang mencari pasangan hidup, yang sedang merantau di tengah lingkungan umat berkeyakinan lain, yang merasa berdiri sebagai minoritas, yang sedang mengalami sindrom rendah diri agama, atau bahkan bagi yang mungkin saat ini sedang menimbang-nimbang untuk pindah ke agama lain; sadarkah kita, Sanatana Dharma adalah permata yang dunia miliki. “Rahmatan Lil Alamin” (rahmat bagi sekalian alam) yang sesungguhnya, bukan hanya “Rahmatan Lil Hindu”. Brahman yang kita kenal adalah figur Tuhan yang tidak memilih, tidak pernah membeda-bedakan.
Mungkin, dari kalimat “tidak pernah membeda-bedakan”, saya bisa menggunakannya sebagai dalih untuk pindah ke agama lain. Tapi dengan mengetahui kualitas Tuhan-Tuhan” dari agama lain itu, dengan tegas saya akan mengatakan, “Saya tidak mau memiliki Tuhan seperti itu!”. Om Ekam Evam Advityam Brahman. Hanya Brahman yang saya kenal sebagai sejatinya Tuhan. Tuhan bagi seluruh semesta, bukan hanya Tuhan satu kaum.
Teman, saya sungguh berharap catatan ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi Anda yang membacanya. Saat ini, saya terus berusaha membuktikan pada keluarga bahwa keputusan saya memeluk Hindu bukanlah keputusan bodoh. Hindu telah merombak total mindset saya yang dulu penuh ego ahamkara.
Teman, banggalah menjadi seorang Hindu. Sebab kita tengah bernaung dalam ajaran induk dari semua ajaran. Saya yakin, setiap dari Anda pernah menghadapi situasi sulit yang memaksa Anda mengambil sebuah keputusan pahit. Tapi saya pun yakin, semuanya adalah proses untuk menjadikan kita lebih dewasa. Gita mengajarkan, orang bijak tidak terlalu terlarut dalam kesedihan ataupun kesenangan. Lihat sisi positif dari apapun yang kita hadapi. Daripada menyesali pintu yang sudah tertutup, bukankah lebih baik mencari pintu lain yang terbuka? Life must going on, apapun yang kita perjuangkan, karmapalanya akan kembali.
Mulai saat ini, semoga tidak pernah lagi terbesit dalam benak kita untuk cenderung menuding Tuhan atas apapun yang kita alami. Mulat sarira, rubah mindset Anda. Legowo menerima hasil dari perbuatan kita sendiri akan terasa jauh lebih melegakan sekaligus membentuk diri kita untuk lebih mampu bersikap ksatria. Mungkin benar, kita tidak tahu karma apa yang kita bawa dari masa lalu. Tapi minimal, kita bisa melihat hasil dari apa yang kita dapat merupakan hasil dari tindakan kita sekarang. Be positive, do positive. Tidak akan ada yang sia-sia. Om Santih Santih Santih Om.
Gentha
Apritaura, lahir 24 April 1988 di Jakarta. Menjalani hidup
berpindah-pindah ke Medan, Banda Aceh, Surabaya, Jayapura dan Madura.
Kembali ke Surabaya untuk kuliah di DIII Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga pada tahun 2006. Memilih untuk memeluk Hindu tahun
2008. Melaksanakan Sudhi Wadani pada Februari 2009 di Pare, Kediri.
Saat ini bekerja sebagai Radiografer di sebuah Laboratorium Klinik di
Surabaya.
Dapat dihubungi di Naughty_gen@rocketmail.com atau no ponsel 081330505484.
Dapat dihubungi di Naughty_gen@rocketmail.com atau no ponsel 081330505484.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
BalasHapuswow hebat...
menurut pemahaman saya, iya benar jodoh itu adalah takdir.darimana?dari tuhan, dari karmaphala.
Apakah jodoh itu pilihan?suka tidak suka, sebenarnya iya....
kita bisa menikah, bisa tidak.bisa beristri 1, bisa beristri 5, bisa menikah 1 kali, bisa 5 kali.dsbnya...
Terkadang karena karmaphala kita, kita diantarkan pada sejumlah pilihan dan lika liku jodoh. Karmaphala pula yang akan membentuk jodoh kita. mempertemukannya, memisahkannya, dll. Jadi misalnya kemarin menolak karena ingin menemukan yg seiman, maka hal tersebut akan menimbulkan karmaphala yang berasal dari pikiran - bahasa kerennya law of attraction (keinginan seperti apa jodoh yg diinginkan) dan perbuatan (jodoh seperti apa yg pantas dari perbuatan yang telah kita lakukan baik dulu termasuk saat ini) hasilnya, mungkin yang lebih baik tergantung seperti apa karma kita.
Satu hal yang pasti, jika kamu kelas 1 sd, kamu akan menempuh banyak ujian untuk lulus S1. Pilihan ada di kita, jika kita tidak mau bersusah payah melewati ujian yg ada, kita akan tetap ada di kls 1 dengan segala suka dukanya.Jika mau berusaha melewati dan pantang menyerah, pada akhirnya kita akan naik kelas dan mendapatkan gelar S1 yg lbh tinggi dari lulusan kls 1 SD. Demikian pula dalam kehidupan...jika kamu yakin dalam pikiran dan berbuat yang semestinya untuk mendapatkan jodoh yg kamu inginkan, pasti dapat...tapi ingat, tuhan menyediakan ikan untuk dimakan manusia, tapi tuhan tidak menghidangkannya langsung di meja makan kita :)
nasi_goreng_kambing@yahoo.com
Terimakasih atas kunjungannya di blog saya
HapusAku puny kekasih, awalnya dia shabatku. Suka duka qt sllu brsama. Suatu ketika qt sama2 mempunyai masalah yg sama yaitu prjodohan. Maksudnya dia dijodohkan dgn ortunya. Begitu pula dgn ku punya masalah di Bali ttg perebutan warisan. Masalahnya pjng dan rumit. Selain itu aku jg di jodohkan dgn musuh bebuyutanku dan keluarga. Anehnya bagiku, keluargaku mendukung prjodohan ini sepenuhnya dgn musuh bebuyutanku. Aku ketakutan dan tdk ingin di jodohkan dgn orang tsb. Aku depresi hingga curhat pd sahabatku ttg masalah keluarga dan prjodohan ini. Krn sering brsama2 dan saling curhat. Aku dan dia mnjadi kasih. Terlintas di benak qt untuk menikah lari. Aku hindu dia muslim. Ktika dia mndapat telefon dari ortunya dia pulang k rumahnya. Brbulan2 lamanya aku menunggu dgn rasa bahagia. Setelah ku baca surat dari kawanku trnyata dia brtunangan dan segera nikah dgn gadis pilihan ortunya. Hatiku hancur mlihat knyataan tsb. Prtanyaannya apa gunanya berusaha mencari jodoh kalau pada akhirnya yg menentukannya Beliau? Apapn bentuknya aku ttp tdk setuju dgn perjodohan.
BalasHapusSelamat malam
HapusSebelumnya mohon maaf karena Blog saya telah sekian lama saya telantarkan
Jodoh sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa..
Kita bisa memilih untuk pacaran dengan siapa, merencanakan akan menikah dengan siapa, menjalani hidup dengan siapa.. Tapi jodoh itu masih misteri..
Ketika kita sudah memutuskan untuk menikah dengan seseorang, jalani itu dengan sungguh sugguh, karena jika tidak maka bisa timbul perceraian, jika sudah bercerai maka itu tidak lagi menjadi jodoh